Bukan Sekedar Kekuasaan

Berapa banyak para pemimpin, baik lokal maupun dalam skala yang lebih besar, yang terlahir dari rahim suci para wanita. Berapa banyak aktor kehidupan yang dibentuk ‘sang sutradara kehidupan’ tersebut. Tentu saja tidak semuanya menjadi pahlawan bagi orang-orang disekelilingnya (bangsanya_red), Karena sebagian dari mereka pun malah berubah peran menjadi part of problem.

Saat mengandung, seorang wanita yang bervisi akan mengidamkan, seraya terus berdo’a semoga buah hatinya kelak mampu merubah krisis yang sedang dihadapinya kini menjadi berkah. Minimal dari sekup yang sangat kecil, pribadinya sendiri, keluarganya, dilanjutkan masyarakatnya, yang kemudian ketika digabungkan dengan pekerjaan saudaranya yang lain mampu menciptakan bangsa yang berketuhanan dan menjujung nilai luhur kemanusiaan.

Tapi ternyata do’a serta usaha wanita tersebut tidak cukup . Karena kelak sangat anak akan bersinggungan dengan dinding –dinding kehidupan yang berwarna warni. Disinilah bakal pemimpin mulai memaknai arti sebuah kekuasaan. Dia mulai mereka-reka ketika merasa dilirik, dicibir, disakiti, sedih, bahkan mengeluarkan air mata dan darah !, serta saat-saat merasa dipuji, mendapatkan acungan jempol, tersenyum hingga terbahak-bahak.

Kekuasaan yang seharusnya diorientasikan sebagai alat pembebas manusia dari berbagai bentuk penindasan, bergeser kepada pembebasan sebagian dengan mengorbankan sebagian yang lain. Nilai luhur kekuasaan pun meluntur. Yang tersisa hanya nilai rendah kekuasaan, bahkan kehinaan! Hal ini banyak terlihat diabad ke 20. Slobodan Milosevic (Serbia), Adolf Hitler (Jerman), Benito Musolini (Italia), Mao Tse Tung (Cina), Cemal Pasha (Turki), Yoseph Stalin (Rusia), Ferdinand Marcos (Filipina), serta masih banyak yang lainnya.

Selaras dengan hal diatas, Jules Masserman, Psikionalis asal USA mengatakan:
“ada tiga syarat untuk menyebut seorang pemimpin besar; memberikan kesejahteraan kepada rakyatnya, membentuk organisasi social yang memberikan rasa aman, dan memberi mereka keyakinan. Pasteur adalah pemimpin yang memenuhi syarat yang pertama. Gandhi dan Confusius pada satu sisi dan Caesar dan Hitler padas sisi yang lain, memliki syarat kedua dan ketiga. Yesus dan Budha memiliki syarat ketiga saja. Mungkin pemimpin besar sepanjang zaman hanyalah Muhammad S.A.W yang memiliki ketiga syarat tersebut’’ (Time Megazine, Juli 1974)

Begitu juga M. Atique Haq,
‘’ Manusia harus bebas dari tekanan dan ketidak adilan. Hukum Khulafa ar-Rasyidin adalah yang ideal bagi kemanusiaan. Dan Muawiyah telah berbuat kekeliruan besar dengan mengenalkan pemerintahan diktatoral’’ (mulai masa ini, orang mengenal sistem pewarisan kekuasaan_pen).
Dapat disimpulkan bahwa, baik Rasulullah maupun Khulafa ar-Rasyidun, adalah para pemimpin yang berhasil menghiasi leher kekuasaan dengan kalung indah ketuhanan dan kemanusiaan.

Orang tidak pernah belajar dari sejarah, tapi sejarah terus berulang meninggalkan pelajaran bagi manusia. Pemerintahan Turki yang sekuler pun mulai kurang dinikmati ditandai kemenangan Gul. Dan skarang penduduk Turki seakan bernostalgia dengan ‘muka lama’ mereka, Islam. Karena memang fitrah manusia yang tidak akan pernah tenang tanpa kehadiran wahyu dicelah kehidupannya.

Kalau sebagian orang mengatakan bahwa hanya keajaiban dan takdir yang bisa menciptakan kedamaian dan kemajuan tanpa sekularisasi, maka ciptakan keajaiban itu!. Dan Ingat, Takdir bukanlah sesuatu yang kita ciptakan, akan tetapi ia sesuatu yang kita 'ikut' ciptakan. Antara kehendak kita yang kita harapkan bertemu dengan kehendak Allah.

Lalau bagaimanakah dengan negara kita?
Bangsa kita barangkali mempunyai standar sendiri akan keberhasilan kekuasaan, terwujudnya demokrasi dan kesejahteraan. Keduanya belum bisa dijalankan secara bersamaan. Demokrasi orde lama yang mengeliminasi kesejahteraan, dan kesejahteraan orde baru yang mengeliminasi demokrasi. Belum bisa karena penguasa saat itu tidak memakai sistem yang sebenarnya bisa mendatangkan keduanya. Ironinya sistem tersebut belum terpakai di negara kita yang mayoritas penduduknya, sebenarnya, berpotensi menerapkan sistem tersebut, yaitu Islam.
Bangsa kita sudah terlalu renta untuk memikul beban yang terus bertambah. Sudah bosan dengan tambal sulam sistem sekuler. Kenapa tidak dicoba untuk menghadirkan Islam sebagai solusi? Seandainya gagal, biarkan ia mengikuti pendahulunya yang juga telah gagal, tapi jika sebaliknya yang akan terjadi, sesungguhnya Islam tidak mengharapkan ucapan terima kasih dari bangsa Indonesia.
“ kebenaran itu adalah dari Tuhanmu, sebab itu jangan sekali-kali kamu termasuk orang yang ragu (2:14)“

Designed by Posicionamiento Web | Bloggerized by GosuBlogger