Karena Kita Memang Harus Ada



Semuanya berawal dari sebuah kecemasan. Pergolakan batin yang hebat terjadi didalam dirinya. Antara nilai yang dibawa seseorang dengan realitas sosial sekitarnya. Itulah yang dialami Rasulullah, Muhammad bin Abdillah. Entah apa yang ada dalam benak seorang pemuda ketika melihat lingkungan yang tidak memihak kepada kebenaran hakiki dan keadilan social. Kecemasan itulah yang melahirkan ide. (meminjam istilahnya Anis Matta) Ide yang jauh melampaui zamannya. Seakan tidak peduli apakah beliau menyaksikan sendiri realisasi idenya tersebut atau tidak. Bahwa harus ada jawaban atas segala yang terjadi Dan jawaban itu adalah Islam. Islam harus menjadi pembebas manusia dari belenggu kebodohan, kerakusan, penindasan, penyembahan terhadap sesama, dan beragam bentuk kejahiliyahan lainnya. Islam harus merubah dunia yang telah absurd. Sebuah ide yang mustahil terwujud. Karena sama artinya beliau harus meng-Islam-kan 100 juta penduduk dunia saat itu. Tetapi memang ide terkadang membuat seseorang tidak mengenal kata ‘mustahil’. Suatu kekuatan dahsyat rupanya terlahir dari ide.

Rasulullah pun membuat suatu perencanaan yang sangat sistematis dan rapi. Konsep yang sangat ‘membumi’. Beliau harus memulai dari skup terkecil masyarakat. Sebagaimana yang ditulis Shofiyurrohman Al-Mubarakfury, maka beliau mulai menawarkan ’konsep’ yang dia bawa kepada keluarga dan orang-orang terdekatnya. Mereka yang sepakat dan memeluk Islam pun berkembang menjadi 30 orang yang terdiri dari pria dan wanita. Mereka itulah pilihan sejarah. Bersama Rasulullah, mereka meyakini bahwa mereka harus ada dan terlibat. Maka agar yang sedikit ini benar-benar menjadi pioneer-pioner dakwah, digelarlah pertemuan rutin di sebuah rumah Al-Arqam bin Abi Al-Arqam. Sebuah wadah pembinaan (baca Fiqhus Shiroh karangan Dr. Ramadhan Al-Buthy).

Kini, dibelahan dunia manapun, Afrika, Eropa, Amerika, Australia, dan Asia, kita saksikan kelompok-kelompok kecil tersebar secara pesat dipojok-pojok kota. Mereka yang menangkap dengan baik ide dahsyat Rasulullah, memahami kemudian berusaha untuk ikut andil dalam proyek mega besar “Guru Peradaban Dunia”. Mereka juga tidak peduli, apakah mereka nanti juga menyaksikan realisasi ide tersebut atau tidak. Mereka takut kehabisan peran. Maka seperti kembang api yang meledak diangkasa kemudian menghasilkan sekian juta percikan api, kelompok kecil di rumah Al-Arqam beberapa abad yang lalu itu kini menjadi jutaan jumlahnya. Bahkan menjadi sebuah trend. “Jangan bilang anak gaul kalau belum punya halaqoh” begitu kata anak-anak muda saat ini. Karena mereka meyakini, bahwa mereka memang harus ada. Sebagai jawaban realitas sosial disekitar mereka. Ya, zaman memang menghendaki agar senantiasa lahir orang-orang yang memperjuangkan nilai-nilai Ilahiy, kebenaran hakiki, dan keadilan social.

0 komentar:

Designed by Posicionamiento Web | Bloggerized by GosuBlogger